Laman

--------------------------------- Memotret kehidupan dalam suatu rangkaian bahasa dan frasa 8.) ---------------------------------

23 Juli 2013

masih diberi-Nya kesempatan waktu, nafas, dan hidup di tengah hingar bingarnya dunia. seperti biasa, menjalani hari dengan rutinitas yang melulu itu itu saja. dan pada suatu waktu aku mengajaknya duduk di atas bangku taman dibawah rindang pohon menikmati semilir musim penghujan. kubawakan sebotol susu hangat dan setangkup roti gandum untuk disantap berdua. ya, hanya berdua saja di akhir pekan, dari siang hingga menjelang petang. aku disampingnya, memerhatikannya lamat-lamat dalam hening gerimis dan gemerisik dedaun. namun kita tak mau beranjak dari bangku taman. dia tetap hangat dengan jilbab tebalnya. aku pun hangat dengan mantel rajutan tangannya. seperti dikebanyakan pria, malah mungkin aku lebih buruk dari mereka, tapi aku selalu berusaha menjadi yang terbaik untuknya. ya, tentu saja untuk istriku, yang telah menitipkan hatinya padaku, yang telah percaya padaku untuk kutuntun, yang kuharap jodoh dunia akhiratku. dalam kebenarannya sebenarnya aku malu mendatanginya di awal-awal temu. tapi sungguh tidak ada alasan untuk meninggalkan kesempatan. aku yang dulu pernah malu mendatangi nya dengan membawa masa lalu. yang ku kunci rapat-rapat, kuikat kuat-kuat, dalam koper rahasia. tetiba aku pun tersenyum ketika Mutia istriku menyadari sejak tadi ia ku perhatikan. dia nampak tersipu sambil merunduk. usia pernikahan ku yang masih terhitung hari masih membuat kita belum leluasa. lalu kuberanikan diri untuk memulai dialog dengan nya. “istriku, bolehkah abang bertanya tentang sesuatu?” sambil kutatap lembut kedua matanya. dia hanya tersenyum tanpa sepatah kata terucap. “senyummu itu artinya boleh bukan? :)” sambil kubalas senyumnya, “bagaimana pendapatmu tentang ‘masa lalu’?” hening menyelinap sekian detik, “memangnya kenapa bang?” diam. “setiap orang pasti memilikinya bukan?” jawabnya retoris. seketika terhenti oleh suara angin yang berembus sedikit kencang. “sebenarnya untuk apa digali-gali :) padahal orang tersebut ingin sekali menguburnya dalam-dalam, lalu kenapa kita susah-susah menggalinya lagi.” “begitukah?” balasku tersenyum lebih lebar. “lalu seberapa besar penerimaanmu terhadap masa lalu orang lain?” tanyaku kembali. “sebesar dan sejauh mana orang itu mau menerima masa lalunya sendiri, lalu seberapa besar usahanya untuk memperbaiki diri, bangkit dan keluar dari lubang masa lalunya, sebesar apa kemauannya untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik dari masa lalu nya. tak usah dipermasalahkan. karena aku pun punya masa lalu. aku pun sedang belajar menjadi pribadi yang lebih baik dari masa lalu ku sendiri.” jawabnya pelan. dan aku pun tersenyum lega :)