..........
Ini malam minggu, tidak seperti kebanyakan orang mungkin malam ini dijadikan malam yang teristimewa. Berdua-duaan dengan kekasihnya, seakan dunia hanya milik mereka saja. Layaknya burung yang terbang karena dilepaskan dari sangkar induknya, bebas, berkeliaran, kesana kemari, jalan-jalan, bercanda, senda gurau, gembira, hip-hip hura, atau mungkin ada yang berpesta pora. Bahkan ada juga yang melakukannya bukan dengan mahromnya. Tapi, malam minggu milikku, kali ini berbeda dari malam-malam minggu yang lalu, biasanya aku hanya bercengkrama dengan keluarga hangat, ibu, bapak, delia, raihan ditambah dua orang sepupu laki-laki menambah harmoni keluarga.
Malam ini seusai solat magrib aku bersiap berangkat ke rumah sakit. Diantar bapak siaga, siap antar jemput dan jaga, yang sabar ya pak, maaf selalu membuat repot, mohon bapak bersabar dengan ikhlas sampai akhirnya teteh dapat suami siaga (*eh? :P)
Malam minggu ini hujan cukup besar, lalu aku putuskan untuk meunggu hujan mereda. Kasian juga bapak, nanti masuk angin, nanti kuyup, nanti sakit.
Nampaknya hujan tidak mau reda sempurna. Lengkap dengan ponco dan sudah siap di atas Honda bebek biru-nya bapak mengajak segera pergi, “Hayu teh, nanti telat!!” mau tidak mau akhirnya kami pun berangkat dengan langit yang masih menurukan air titik-titik.
“Delia, abang, ardi, ibu.. teteh pergi dulu ya. Assalamualaikum.” Pamitku sambil mengecup punggung tangan ibu, pipi kanan dan kiri, lalu sun sayang ibu mendarat di kening. Seketika udara dingin menjadi hangat gara-gara disun ibu :D “Waalaikumsalam, ati-ati teh.” Jawab ibu.
Aku menaiki Bebek kesayangan Bapak. “Siap!!” kata bapak. “Siap!!” jawabku setengah siap sebenarnya karena masih hujan khawatir dengan Bapak dan Raihan. Kali ini Raihan ingin ikut mengantar. Ya sudahlah walau hujan, tetap dijagain sama dua orang lelaki pertama dalam hidupku :P Bapak mengingatkan, “Jeketnya seletingin teh, angin.” Aku pun menjawab singkat, “Iya..” Bapak memang begitu, selalu mengingatkan hal-hal kecil seperti aku masih anak kecil. Semisal, “Kalau nyebrang ati-ati teh, liat kiri kanan dulu.” Padahal aku rasa aku sudah cukup dewasa.
Bebek biru melaju dengan hati-hati, belum sampai setengah perjalanan gerimis semakin merapat, angin bersuit-suit, mengibaskan ponco yang kami kenakan. Ponco hitam itu seperti menjelma menjadi batman yang sedang naik bebek biru sambil hujan-hujanan. Mungkin takut keburu basah kuyup bapak mempercepat laju motor. Raihan yang duduk di depan berkata, “Bapak jangan cepet-cepet ini udah 80, turunin Raihan takut!!” begitu katanya. Akhirnya bebek pun melambat. Tak apalah alon-alon asal selamat sampai tujuan.
Satu jam berlalu. Akhirnya sampai juga di gerbang depan RSAI. Aku pun turun dari bebek itu. Merapikan kerudung yang berantakan sehabis bertempur dengan angin. Lalu kucium punggung tangan bapak. Dan menunggingkan punggung tanganku ke arah raihan minta disun. “Makasih ya pak, teteh masuk, assalamualaikum.” kataku. Bapak menjawab, “Waalaikumsalam, ati-ati teh, jalannya jangan lewat sana lagi nanti kejedug palang lagi.” sambil menunjuk lajur masuk mobil. Aku hanya meringis malu karena memang malam kemarin aku masuk melewati palang mobil, berjalan dibelakang mobil, setelah mobil lewat aku berjalan, tak sadar di atas kepalaku ada palang mobil yang siap menutup, Jedug!! akhirnya kepalaku dipukul palang mobil. Malunya minta ampun. Orang disekitar ada yang bertanya, “Neng ga papa neng?” sambil tertawa. Aku sih jalan lurus saja tidak tengok kiri kanan pura-pura tidak dengar. Malu. Serasa jadi bintang iklan Mizone yang kurang konsentrasi akhirnya jalan aja sampai nabrak tiang segala.
Aku berjalan perlahan karena sepatuku basah membuat jalan di atas keramik menjadi licin. Setibanya di laboratorium tempatku praktek aku merapikan bajuku yang semrawut lalu mengeringkan sepatu dengan kertas tisu. Untung saja sepatuku disintesa dari plastic. Kalau basah tinggal di lap, cling..keringlah seketika.