…………………….
Namaku Muhammad Arkan. Anak sulung 3 bersaudara semua lelaki. 1 adikku kelas 3 di SMA Negeri 3 Bandung. 1 lagi kelas 3 di SMP Negeri 3 Bandung. Kini usiaku sudah beranjak 24 tahun. 3 tahun yang lalu aku telah merampungkan pendidikan sarjanaku di salah satu perguruan tinggi negeri kota Bandung, ITB (Institut Teknologi Bandung). Aku bekerja di perusahaan asing ternama dan menduduki jabatan yang cukup tinggi. Alhamdulillah penghasilanku juga cukup. Cukup untuk orang tua, cukup untuk adik-adik, cukup untuk menabung, cukup untuk disedekahkan.
***
Ini hari minggu. Aku duduk di kursi malas sambil membaca buku di perpustakaan pribadi milik ayah. Entah mengapa aku memilih buku yang berjudul ‘Ensiklopedia Lelaki Muslim’ untuk aku baca. Buku ini bagus sekali. Halaman demi halamannya terus membuka pikiranku untuk semangat menjalani masa kini dan menghadapi masa depan sebagai seorang lelaki yang taat beragama. Tiba di pertengahan buku, aku telungkupkan buku tebal itu. Aku alihkan pandanganku ke luar jendela hingga yang ku lihat hanya birunya langit dengan sekumpulan awan berarak terbawa angin. Lalu aku merenung dengan isi-isi kepalaku yang terus berlompatan. Mencoba merangkai pikiran yang sedang melanglang buana untuk masa depan.
Aku berfikir. Kehidupan masa dewasaku terus berlanjut di antara kegamanganku sendiri akan arti masa depan bagi seorang lelaki. Banyak orang yang mengatakan, klimaks sebuah kehidupan adalah pernikahan. Menjadi seorang suami dan ayah dari anak-anaknya. Itu kedengarannya manis sekali. Ideal untuk diterapkan pada umurku yang sudah sepatutnya. Tapi bagi diriku, disinilah letak kegamangan hidup yang kurasakan. Di satu sisi aku sangat menyukai kata-kata manis dan ideal itu. Alangkah bahagianya hidup dengan predikat sebagai seorang suami dan ayah dari beberapa anak yang dilahirkan dari rahim seorang istri solehah. Tapi di sisi lain, aku dikejar rasa cemas dan takut. Apakah predikat itu akan disandang oleh semua lelaki dengan sempurna dan seideal itu? Bagaimana bila aku tidak bisa menjadi nahkoda yang baik dan benar untuk seluruh awak kapal? Akan mampukah aku menjalin bahtera rumah tangga dengan penuh rasa kebahagiaan di dunia dan di akhirat-Nya kelak? Sungguh pikiran-pikiran itu menghantui diriku. Tapi aku ingin segera setepatnya menyempurnakan ibadahku.
Dunia perkuliahan, organisasi, dan perkantoran membuatku mempunyai kesempatan berkenalan dengan banyak tipe wanita. Ada beberapa yang kusukai, tapi lebih banyak yang kuhindari karena watak mereka tergambar jelas dari sikap, sifat, dan penampilan. Mungkin ini hanya analisaku saja.
***
Beberapa hari kemudian. Sore itu, gerimis hujan turun menemaniku dalam kegamangan. Disaat apa yang aku dapatkan ini sudah siap untuk memantapkan hati ke level hidup yang lebih tinggi. Selama ini aku percaya dalam kesendirian menjalani hidup tanpa seseorang yang menemani. Dikala teman-temanku mempunyai seorang yang mereka sebut dengan kekasih.
Kini aku sudah bertekad bulat memantapkan hati. Mencari tambatan hati untuk melanjutkan kisah hidupku bersama seseorang yang insyaallah terbaik. Membangun peradaban generasi Rabbani. Dialah Nadya Alia, seorang wanita 2 tahun lebih muda dariku. Dia mempunyai kepribadian yang begitu indah. Dia sesosok wanita muslimah. Aku dikenalkan oleh murabbi ku saat aku pernah menyampaikan niatku untuk menikah. Dan sebulan kemudian, beliau memperkenalkan Nadya padaku.
***
Hari itu begitu indah. Akhirnya aku merasakan hari pernikahan dengan Nadya setelah sekian lama menahan hijab dengan seorang akhwat. Bismillah, dengan sepenuh hati aku mengucapkan ijab kabul. Hatiku serasa bergemuruh setelah mengucap perjanjian maha sakral itu. Mulai saat ini akan ada yang aku tuntun dan aku bina. Aku lihat disisiku ternyata air mata sudah merebak di kedua ujung mata ibu. Aku pun tak sanggup menahan keharuan ketika bersembah di pangkuan kedua orangtuaku setelah mereka menyampaikan amanah-amanahnya.
"Rasa itu telah tiada..rasa dimana kesendirianku bersama-Mu..Engkau menuntunku pada keselamatan..cahaya-Mu kini datang..yang selama ini aku simpan dengan kesabaran..sesosok bunga yang kudapatkan..bunga terindah yang Engkau berikan.."
Acara pernikahan pun berakhir. Pernikahan kami langsungkan di rumah yang sudah kucicil jauh-jauh hari. Aku begitu gugup melihat keadaan sekitar. Dalam suasana kamar pengantin yang masih diselubungi aroma melati, kini tinggalah seorang Nadya menatapku tajam seperti memberikan sebuah isyarat. Aku mencoba memberanikan diri untuk mencairkan suasana, dan mulailah lisanku bergetar.
"De, hari ini begitu senangnya hati mas."
"Nadya juga mas."
Dan tak disangka istrikupun menjawabnya dengan senada, begitu senangnya hati ini mendengar suara itu hingga aku pun bergegas untuk membuat segelas susu hangat untuknya.
"Mau kemana mas?"
"Sebentar de, mas mau buat susu dulu yah.”
Tak berapa lama saya pun kembali dengan membawa segelas susu hangat yang telah dibuat.
"Ini de susunya di minum dulu, sengaja mas buat sendiri."
Dia hanya tersenyum manis sambil menatapku berbinar lalu diminumlah susu itu.
Subhanallah, cantiknya malam itu istriku. Dia begitu anggun terbalut busana muslimah indah dengan jilbab lebar yang tergerai.
***
Empat tahun sudah terlewati, aku dan istriku pun melewatinya dengan segala aktifitas. Kami saling berlomba memperbanyak hafalan surat kami. Bahkan aku pun membuat beberapa peraturan untuk kami berupa targetan. Seperti menyelesaikan 1 juz tilawah dalam 1 hari, menambah hafalan minimal 5 ayat per hari, berlomba-lomba bangun lebih awal untuk Qiyamul Lail, merutinkan puasa sunah, dan sebagainya.
Kadang aku suka mencandai istriku. Ketika kami sudah lelah seharian dengan aktifitas yang berbeda, kami terkapar.
“Ummi…”
“Iya abi..”
“Ummi tau ga?”
“Gak tau abi.”
“Hehehee, Abi baru saja selesai baca bukunya almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh.”
“Terus..”
“Katanya kalau pengen langgeng, suami istri kalau tidur harus sambil gandengan tangan.”
Seperti biasa, dia hanya tersenyum manis sambil menatapku berbinar lalu dia berikan tangannya padaku.
***
Aku sudah ditemani seorang anak lelaki berusia 2,5 tahun hasil pernikahan kami. Dia kami beri nama Muhammad Alfadh. Wajahnya bak pinang dibelah 2 denganku. Selama Nadya mengandung, aku yang mengambil alih semua pekerjaan ibu rumah tangga dengan ikhlas. Mencuci baju dan piring, menyapu, mengepel, memasak, menyetrika, semuanya aku yang kerjakan. Aku perlakukan istriku bak Ratu Kerajaan selama masa kehamilannya.
Sepulang dari kantor, aku sempatkan bermain dengan Alfadh. Jika akhir pekan datang, ketika aku lepas dari kesibukan rutinitasku, aku habiskan waktu bersama Istri dan Anakku. Jiwa keibuan Nadya lebih terlihat ketika kami kehadiran seorang Alfadh. Dia ajarkan Alfadh berbagai macam kegiatan. Mulai dari menggambar, mewarnai, dan lainnya. Ketika adzan berkumandang segera kugendong Alfadh, kuajarkan dia mencintai masjid sedari kecil, lalu kita sama-sama menunaikan solat berjamaah. Kecuali Isya dan Subuh aku sengaja solat di musola rumah untuk mengimami istri dan anakku. Setiap lepas magrib aku dudukkan Alfadh disampingku sambil menghadap sebuah kitab kecil, Iqra. Aku pun mengikuti lafal dan jemarinya yang mungil untuk membaca satu per satu huruf hijaiyah dalam Iqra. Lalu Nadya istriku, Alfadh diajarinya berbagai macam doa dan surat-surat pendek. Sebelum tidur, Nadya juga biasa membacakan kisah-kisah para Nabi. Alfadh selalu memilih sendiri buku mana yang ingin diceritakan oleh Umminya, dan aku sengaja membelikan buku cerita anak beberapa seri kisah para Nabi. Begitulah cara kami berkolaborasi mendidik anak. Semoga anak-anak kami tumbuh menjadi anak yang soleh dan solehah.
Masih banyak mimpi-mimpi yang sedang kami ikhtiarkan untuk keluarga kami. Tahun ini kami akan memberangkatkan orangtua kami naik haji. Dan tahun depan gilaran aku dan istriku berangkat ke tanah suci.
…………………………
"Jika seorang hamba menikah, berarti ia telah menyempurnakan setengah agamanya, dan bertakwalah kepada Allah di setengahnya lagi."Hadis Sahih, Bukhari, Kitab Ar-Riqaq, No 6474
"Ada tiga orang* yang berhak mendapat pertolongan Allah,( salah satunya adalah) orang yang menikah karena ingin menjaga kesuciannya."HR. Tirmidzi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar