..........
Siang tadi, matahari betah bertengger manis di birunya langit. Berhasil menyengat kulit. Sesekali , berharap teriknya sembunyi di balik awan. Teduh seketika. Hilang kegerahan. Ya.. ini baru seujung kuku panas dunia. Bagaimana dengan panasnya alam sana??? Naudzubillah
Aku bersandar di kursi depan angkot :> kujadikan buku OSD sebagai sahabat selama satu jam perjalanan menuju kampus. Halaman demi halaman buku itu berhasil mengaduk rasa. Seperti berdialog dengan buku. Tiba-tiba senyum sendiri, tiba-tiba terbahak, kadang haru, kadang sedih, hingga hampiirr saja bulir-bulir bening menyeruak keluar dari pelupuk mata.
Setengah perjalanan berlalu. Tiba di perempat jalan dengan lampu merah 150 detik. Antri kendaraan semakin memanjang di tengah hari, lampu hijau hanya menyala 50 detik ditambah kepulan asap damri yang pekat layaknya tinta gurita, hingar bingar klakson motor dan mobil yang semakin membuat sesak jalan bersahutan seakan tak bisa bersabar sedikiitt saja. Pedagang asongan juga tunawisma hilir mudik datang bergantian. “Rokok, rokok, rokok, rokona rokona….”, “Neng…..sedekahna neng…..” Dan.. seperti hari-hari sebelumya, saking terbiasanya sampai-sampai seperti ritual. Seorang pengamen tunawicara datang menghampiri. Sekitar umur 27 tahunan, menenteng gitar mini, kalau beraksi dijalanan hanya menggumam sambil menggenjreng gitar asal-asalan, asal bunyi tanpa kunci, tanpa melodi, dan tanpa harmoni yang pas. Entah apa yang membuat kebetulan, aku hampir setiap hari bertemu dengan pengamen itu. Tiba-tiba ia ulurkan tangannya kearahku sambil tersenyum dengan suara yang menggumam, aku hanya sedikit membalas senyumnya dan mengangguk kecil lalu kuteruskan membaca. Lama tak dapatkan uluran tangan balasan, lalu ia tarik kembali tangannya kebelakang. Sengaja aku tak ulurkan tanganku, karena pengamen itu laki-laki, tentu saja itu bukan hal yang benar jika aku menjabat tangannya, lalu aku katupkan kedua telapak tanganku kearahnya sesaat membentuk kuncup ketika telapak tangan kanan merapat dengan yang kiri. Dan ia pun tersenyum paham. Sebentar ia perhatikan buku yang sedang kubaca lalu ia bicara dengan bahasa isyarat. Jujur, sebenarnya aku tak paham apa yang ia sampaikan. Hanya mampu sedikit meraba dengan gerakan yang ia peragakan. “m m m…” ia menggumam sambil mengarahkan tangan kirinya ke mulutnya, “m m m…” ditengadahkan kedua tangannya dengan kepala yang sedikit dihadapkan keatas, “m m m…” tangannya mengusap-ngusap mata diakhiri dengan senyuman. Aku berusaha menangkap apa yang ingin ia katakan, “saya tidak bisa bicara. .saya ingin bicara. .saya selalu berdoa. .sampai menangis..” mungkin kira-kira begitu yang ingin ia utarakan. Aku terenyuh, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Sampai akhirnya lampu hijau menyala. Begitu juga hari-hari sebelumnya, ia selalu menghampiri dan bergumam dengan gerakan bahasa-bahasa isyaratnya yang jarang sekali aku mengerti. Maafkan aku…
Kututup buku yang sedang kubaca, melamun… bukan bukan…bukan melamun, tepatnya merenung, sedikit perenungan di setengah perjalan sisa.
Syukur.. ya, bersyukur. Dengan bersyukur kita akan merasa bahagia. Sejatinya, bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, melainkan bersyukur yang membuat kita semakin bahagia dan bahagia. Karena kebahagiaan akan selalu ada pada setiap hati yang senantiasa berucap syukur. Begitu banyak nikmat yang telah Allah beri. Mulut boleh tidak bisa bicara, hingga pita suara pun tidak bergetar, asal hati jangan sampai tidak bisa bersuara mengucap syukur atas nikmat-nikmat lain yang telah Allah anugerahkan, asal jiwa dan ruh jangan sampai tidak bisa bergetar mensyukuri hal lain.
Jangan.. jangan cemas, kau tidak boleh cemas, karena… rasa syukur akan mengurai kerumitan dan kepelikan. Cukuplah kita banyak-banyak berterima kasih pada-Nya, lalu kemudian kita akan merasakan luang, dan gembira mengangkasa. Yakinlah, bahwa Yang Maha Baik akan sangat tersanjung menerima penghargaan detik itu juga, dalam keadaan apapun yang sudah menjadi takdirnya, suka ..maupun duka.. n_n
..........
Siang tadi, matahari betah bertengger manis di birunya langit. Berhasil menyengat kulit. Sesekali , berharap teriknya sembunyi di balik awan. Teduh seketika. Hilang kegerahan. Ya.. ini baru seujung kuku panas dunia. Bagaimana dengan panasnya alam sana??? Naudzubillah
Aku bersandar di kursi depan angkot :> kujadikan buku OSD sebagai sahabat selama satu jam perjalanan menuju kampus. Halaman demi halaman buku itu berhasil mengaduk rasa. Seperti berdialog dengan buku. Tiba-tiba senyum sendiri, tiba-tiba terbahak, kadang haru, kadang sedih, hingga hampiirr saja bulir-bulir bening menyeruak keluar dari pelupuk mata.
Setengah perjalanan berlalu. Tiba di perempat jalan dengan lampu merah 150 detik. Antri kendaraan semakin memanjang di tengah hari, lampu hijau hanya menyala 50 detik ditambah kepulan asap damri yang pekat layaknya tinta gurita, hingar bingar klakson motor dan mobil yang semakin membuat sesak jalan bersahutan seakan tak bisa bersabar sedikiitt saja. Pedagang asongan juga tunawisma hilir mudik datang bergantian. “Rokok, rokok, rokok, rokona rokona….”, “Neng…..sedekahna neng…..” Dan.. seperti hari-hari sebelumya, saking terbiasanya sampai-sampai seperti ritual. Seorang pengamen tunawicara datang menghampiri. Sekitar umur 27 tahunan, menenteng gitar mini, kalau beraksi dijalanan hanya menggumam sambil menggenjreng gitar asal-asalan, asal bunyi tanpa kunci, tanpa melodi, dan tanpa harmoni yang pas. Entah apa yang membuat kebetulan, aku hampir setiap hari bertemu dengan pengamen itu. Tiba-tiba ia ulurkan tangannya kearahku sambil tersenyum dengan suara yang menggumam, aku hanya sedikit membalas senyumnya dan mengangguk kecil lalu kuteruskan membaca. Lama tak dapatkan uluran tangan balasan, lalu ia tarik kembali tangannya kebelakang. Sengaja aku tak ulurkan tanganku, karena pengamen itu laki-laki, tentu saja itu bukan hal yang benar jika aku menjabat tangannya, lalu aku katupkan kedua telapak tanganku kearahnya sesaat membentuk kuncup ketika telapak tangan kanan merapat dengan yang kiri. Dan ia pun tersenyum paham. Sebentar ia perhatikan buku yang sedang kubaca lalu ia bicara dengan bahasa isyarat. Jujur, sebenarnya aku tak paham apa yang ia sampaikan. Hanya mampu sedikit meraba dengan gerakan yang ia peragakan. “m m m…” ia menggumam sambil mengarahkan tangan kirinya ke mulutnya, “m m m…” ditengadahkan kedua tangannya dengan kepala yang sedikit dihadapkan keatas, “m m m…” tangannya mengusap-ngusap mata diakhiri dengan senyuman. Aku berusaha menangkap apa yang ingin ia katakan, “saya tidak bisa bicara. .saya ingin bicara. .saya selalu berdoa. .sampai menangis..” mungkin kira-kira begitu yang ingin ia utarakan. Aku terenyuh, lagi-lagi aku hanya bisa tersenyum dan mengangguk. Sampai akhirnya lampu hijau menyala. Begitu juga hari-hari sebelumnya, ia selalu menghampiri dan bergumam dengan gerakan bahasa-bahasa isyaratnya yang jarang sekali aku mengerti. Maafkan aku…
Kututup buku yang sedang kubaca, melamun… bukan bukan…bukan melamun, tepatnya merenung, sedikit perenungan di setengah perjalan sisa.
Syukur.. ya, bersyukur. Dengan bersyukur kita akan merasa bahagia. Sejatinya, bukan bahagia yang membuat kita bersyukur, melainkan bersyukur yang membuat kita semakin bahagia dan bahagia. Karena kebahagiaan akan selalu ada pada setiap hati yang senantiasa berucap syukur. Begitu banyak nikmat yang telah Allah beri. Mulut boleh tidak bisa bicara, hingga pita suara pun tidak bergetar, asal hati jangan sampai tidak bisa bersuara mengucap syukur atas nikmat-nikmat lain yang telah Allah anugerahkan, asal jiwa dan ruh jangan sampai tidak bisa bergetar mensyukuri hal lain.
Jangan.. jangan cemas, kau tidak boleh cemas, karena… rasa syukur akan mengurai kerumitan dan kepelikan. Cukuplah kita banyak-banyak berterima kasih pada-Nya, lalu kemudian kita akan merasakan luang, dan gembira mengangkasa. Yakinlah, bahwa Yang Maha Baik akan sangat tersanjung menerima penghargaan detik itu juga, dalam keadaan apapun yang sudah menjadi takdirnya, suka ..maupun duka.. n_n
..........
Tidak ada komentar:
Posting Komentar