Bagi penggemar makanan ala Barat seperti 'fast food', waspadalah. Karena, di balik kelezatan makanan tersebut mengintai kandungan lemak trans yang tinggi merupakan pembunuh tersembunyi atau 'secret killer'.
Lemak trans bernama asli Trans Fatty Acids (TFA) itu, dianggap sebagai biang keladi meningkatkan kolesterol darah secara bertahap dan meyakinkan. Padahal, kolesterol darah yang tinggi, dinilai sebagai pemicu aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah).
Aterosklerosis menjadi pilar utama komplikasi hipertensi akibat proses kerusakan menahun pada permukaan sisi dalam pembuluh nadi. Kerusakan itu, salah satunya berawal dari terpaan kontaminasi zat radikal bebas, yang berasal dari hasil metabolisme dan oksidasi lemak tubuh. Secara bersama-sama, dengan LDLkolesterol (kolesterol jahat) tinggi dan trigliserida (lemak darah), membentuk plak. Selain dipengaruhi oleh lemak trans, kolesterol darah yang tinggi sebetulnya juga disebabkan oleh konsumsi lemak jenuh (lemak cis) yang berlebih, terutama berasal dari menu makanan sehari-hari. Namun, lemak trans sangat berperan cukup penting dalam meningkatkan kolesterol darah secara progresif.
Lemak trans mulai populer, sejak ditemukan kasus dalam penelitian gizi (diet) oleh beberapa peneliti pada tahun 80-an. Penelitian dan pengamatan dilakukan terhadap konsumsi lemak jenuh orang Skandinavia dan Amerika Serikat. Hasilnya, konsumsi lemak trans yang lebih tinggi pada orang Skandinavia, secara nyata meningkatkan penderita jantung koroner. Isu mengenai lemak trans kembali marak, setelah Badan Pengawasan Makanan dan Obat Amerika Serikat (US-FDA) dan British Nutrition Foundation (BNF) mempersoalkannya kembali. Data menunjukkan, tingginya konsumsi lemak trans pada penduduk di kedua negara tersebut. Karena itu, US-FDA berencana menerbitkan peraturan final yang mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam industri pangan, untuk mencantumkan kandungan lemak trans pada label makanan yang diproduksi secara massal. Ketentuan pencantuman label ini, merupakan upaya untuk melindungi masyarakat konsumen dari mengonsumsi TFA secara berlebihan. Terbitnya peraturan tersebut, dipicu oleh berbagai hasil studi yang menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi TFA (lemak trans) dengan peningkatan kolesterol darah. Membatasi konsumsi lemak trans, merupakan anjuran berbagai departemen kesehatan di sebagian besar negara maju, khususnya AS dan Inggris.
Lalu, apakah masyarakat Indonesia sudah perlu membatasi konsumsi TFA? Pertanyaan ini masih sulit dijawab. Masalah penyakit jantung koroner (PJK) sebetulnya bukan hanya didominasi negara maju. Di Indonesia, sekarang ini PJK telah menjadi pembunuh nomor dua, atau mungkin sudah nomor satu, yang sebelumnya hanya menjadi peringkat ketiga atau kelima. PJK banyak diderita oleh golongan usia muda, yang masih sangat pr oduktif dan dikenal sebagai eksekutif muda berusia antara 30-40 tahun. Tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa hipertensi, stroke, dan PJK dapat menyerang pada saat usia belum genap 40 tahun.
Hal ini pada beberapa waktu lalu tidak pernah terjadi. Penyakit ini, tidak hanya menimpa kalangan menengah ke atas saja, namun semua kalangan, tak kenal kaya atau miskin. Salah satu pemicunya adalah konsumsi lemak yang tinggi, khususnya lemak jenuh dan lemak dalam bentuk isomer trans.
Beberapa hasil penemuan terbaru secara lebih rinci menunjukkan, bahwa konsumsi lemak trans yang tinggi secara spesifik dapat meningkatkan kandungan kolesterol LDL (kolesterol jahat). Sebaliknya, dalam kandungan kolesterol HDL (kolesterol baik) terjadi penurunan secara bermakna.
Keadaan ini sangat tidak menguntungkan. Sebab, kolesterol HDL sangat berguna dalam menetralkan atau memusnahkan LDL agar tetap terjaga rasio kandungan kolesterol total yang harmonis.
Ada fakta lain yang lebih serius membuktikan, bahwa lemak trans tersebut mengganggu konversi asam lemak esensial linoleat menjadi arakidonat dalam sintesa lemak tubuh. Secara keseluruhan, hal ini akan mengganggu sistem reaksi enzimatik dalam metabolisme lemak. Terganggunya sistem enzimatik, akan berpengaruh juga dalam perkembangan sistem saraf. Sebab, sel saraf sangat membutuhkan jenis asam lemak esensial ini.
(to/np)
Lemak trans bernama asli Trans Fatty Acids (TFA) itu, dianggap sebagai biang keladi meningkatkan kolesterol darah secara bertahap dan meyakinkan. Padahal, kolesterol darah yang tinggi, dinilai sebagai pemicu aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah).
Aterosklerosis menjadi pilar utama komplikasi hipertensi akibat proses kerusakan menahun pada permukaan sisi dalam pembuluh nadi. Kerusakan itu, salah satunya berawal dari terpaan kontaminasi zat radikal bebas, yang berasal dari hasil metabolisme dan oksidasi lemak tubuh. Secara bersama-sama, dengan LDLkolesterol (kolesterol jahat) tinggi dan trigliserida (lemak darah), membentuk plak. Selain dipengaruhi oleh lemak trans, kolesterol darah yang tinggi sebetulnya juga disebabkan oleh konsumsi lemak jenuh (lemak cis) yang berlebih, terutama berasal dari menu makanan sehari-hari. Namun, lemak trans sangat berperan cukup penting dalam meningkatkan kolesterol darah secara progresif.
Lemak trans mulai populer, sejak ditemukan kasus dalam penelitian gizi (diet) oleh beberapa peneliti pada tahun 80-an. Penelitian dan pengamatan dilakukan terhadap konsumsi lemak jenuh orang Skandinavia dan Amerika Serikat. Hasilnya, konsumsi lemak trans yang lebih tinggi pada orang Skandinavia, secara nyata meningkatkan penderita jantung koroner. Isu mengenai lemak trans kembali marak, setelah Badan Pengawasan Makanan dan Obat Amerika Serikat (US-FDA) dan British Nutrition Foundation (BNF) mempersoalkannya kembali. Data menunjukkan, tingginya konsumsi lemak trans pada penduduk di kedua negara tersebut. Karena itu, US-FDA berencana menerbitkan peraturan final yang mewajibkan perusahaan yang bergerak dalam industri pangan, untuk mencantumkan kandungan lemak trans pada label makanan yang diproduksi secara massal. Ketentuan pencantuman label ini, merupakan upaya untuk melindungi masyarakat konsumen dari mengonsumsi TFA secara berlebihan. Terbitnya peraturan tersebut, dipicu oleh berbagai hasil studi yang menunjukkan adanya hubungan antara konsumsi TFA (lemak trans) dengan peningkatan kolesterol darah. Membatasi konsumsi lemak trans, merupakan anjuran berbagai departemen kesehatan di sebagian besar negara maju, khususnya AS dan Inggris.
Lalu, apakah masyarakat Indonesia sudah perlu membatasi konsumsi TFA? Pertanyaan ini masih sulit dijawab. Masalah penyakit jantung koroner (PJK) sebetulnya bukan hanya didominasi negara maju. Di Indonesia, sekarang ini PJK telah menjadi pembunuh nomor dua, atau mungkin sudah nomor satu, yang sebelumnya hanya menjadi peringkat ketiga atau kelima. PJK banyak diderita oleh golongan usia muda, yang masih sangat pr oduktif dan dikenal sebagai eksekutif muda berusia antara 30-40 tahun. Tidak pernah dibayangkan sebelumnya bahwa hipertensi, stroke, dan PJK dapat menyerang pada saat usia belum genap 40 tahun.
Hal ini pada beberapa waktu lalu tidak pernah terjadi. Penyakit ini, tidak hanya menimpa kalangan menengah ke atas saja, namun semua kalangan, tak kenal kaya atau miskin. Salah satu pemicunya adalah konsumsi lemak yang tinggi, khususnya lemak jenuh dan lemak dalam bentuk isomer trans.
Beberapa hasil penemuan terbaru secara lebih rinci menunjukkan, bahwa konsumsi lemak trans yang tinggi secara spesifik dapat meningkatkan kandungan kolesterol LDL (kolesterol jahat). Sebaliknya, dalam kandungan kolesterol HDL (kolesterol baik) terjadi penurunan secara bermakna.
Keadaan ini sangat tidak menguntungkan. Sebab, kolesterol HDL sangat berguna dalam menetralkan atau memusnahkan LDL agar tetap terjaga rasio kandungan kolesterol total yang harmonis.
Ada fakta lain yang lebih serius membuktikan, bahwa lemak trans tersebut mengganggu konversi asam lemak esensial linoleat menjadi arakidonat dalam sintesa lemak tubuh. Secara keseluruhan, hal ini akan mengganggu sistem reaksi enzimatik dalam metabolisme lemak. Terganggunya sistem enzimatik, akan berpengaruh juga dalam perkembangan sistem saraf. Sebab, sel saraf sangat membutuhkan jenis asam lemak esensial ini.
(to/np)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar